Orde Paling Baru yang Sudah di Depan Mata

64 Tahun Kemerdekaan

Usia Bangsa Indonesia sudah mencapai 64 tahun. Apabila itu merupakan umur dari seseorang, maka secara umum dan ideal dapat dikatakan orang tersebut seharusnya sudah mampu menjalani hidup berumah tangga, mempunyai anak yang sudah dewasa dan berpendidikan. Bahkan pada umur itu, orang biasanya sudah mendapat cucu dan memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Indonesia hari ini, dihitung sejak revolusi kemerdekaan, tidaklah nasibnya banyak berubah, masih seperti anak kecil yang disuapi, diatur kesehariannya dan sering merengek. Pemerintahan negarapun sudah berganti-ganti dari Orde Lama sampai Orde Paling Baru pada hari ini semuanya menyuarakan perubahan dan mengatas namakan kepentingan rakyat, akan tetapi yang terjadi hanyalah pergantian semata. Tanpa ada perubahan mendasar pada kondisi sosialnya. Terbukti masih saja ada fenomena dan problematika seperti kelaparan, pengangguran, konflik, dan berbagai penyakit sosial (baik kriminal maupun tindak pidana korupsi). Berarti ada yang kemudian menghambat pertumbuhan Indonesia dan segalanya berhubungan dengan situasi yang terjadi, baik situasi ekonomi maupun politik.

Pemilu 2009 menjadi ajang perebutan kembali kekuasaan. Yang menjadi pembacaan adalah potensi terjadinya kerusuhan dikarenakan indikasi kecurangan yang dulakukan (Komisi Pemilihan Umum) KPU. Indonesia Timur juga memiliki potensi yang besar akan terjadinya instabilitas politik, karena gerakan saparatisme sudah kembali mengakar pada jiwa-jiwa yang telah muak dengan diskriminasi yang ada. Persoalan ini seharusnya mampu menjadi wacana yang membawa situasi Indonesia seperti krisis kepercayaan yang terjadi pada saat tahun 2001, yang setidaknya pada hari ini mampu menghasilkan pemilihan ulang untuk pemilu 2009. Tetapi sampai pada saat ini mengapa tidak terjadi gelombang protes dan gerakan yang cukup membahana di seantero nusantara? Apakah memang ada yang menghambat proses demokratisasi seperti dengan adanya banyak sekali konspirasi.

Orde Paling Baru

Indonesia pernah berada pada sebuah rezim otoriter yang menjadikan negara ini sangat tidak demokratis. Pembrangusan dan pengebirian kebebasan sangat jelas terjadi. Ideologi diarahkan pada nasionalisme palsu yaitu Pancasila ala Soeharto. Kekuatan-kekuatan masa diorganinsir dan dibatasi untuk kepentingan rezim. Kelompok-kelompok oposisi mampu diredam sedemikian rupa. Rakyat awam dan jelata dihadapkan pada kesejahteraan semu, dimana kesejahteraan itu didapatkan dari hutang luar negeri. Sampai akhirnya bentuk-bentuk kritis gerakan mahasiswa, gerakan pers, dan gelombang masa direpresif dengan perangkat militer dan hukum sepihak. Orde Baru menggunakan perangkat militer terutama Angkatan Darat (AD) sebagai kekuatan politik, yaitu dengan legitimasi hukum doktrin Dwi fungsi ABRI. Tidaklah jauh berbeda dengan masa kolonial. Segala kekayaan negara yang ada hanya dikuasai segelintir orang. Bisnis Militer tumbuh subur dengan adanya Undang-undang yang dibuat negara. Selain itu untuk memberikan kinerja kepada Militer, biasanya negara menugaskan oprasi-oparasi militer, yang diarahkan keluar yaitu pengamanan teritorial atau diarahkan ke dalam yaitu dengan cara berkonspirasi dengan gerakan saparatis. Dalam syair sebuah lagu Iwan Fals “Serdadu boneka yang malang”

Apabila kita berkaca dari sejarah Orde Baru dan dikaitkan pada situasi hari ini, tidak menutup kemungkinan akan fenomena yang sama, namun dengan kondisi dan waktu yang berbeda. Sistem pemerintahan SBY dapat dikatakan masih abu-abu, tidak jelas apa yang hendak dirubah. Cenderung reaktif dan tidak berani mengambil resiko terhadap isu-isu yang bergulir, hanya bermain aman dengan kebijakannya. Apabila pada masa Orde Baru ketertindasan dan diskriminasi yang terlihat nyata dikaburkan dengan peningkatan kesejahteraan fiktif hasil hutang dan program Pelita. Sama halnya dengan Orde Paling Baru pada hari ini, yaitu menggunakan pertumbuhan ekonomi fiktif. Padahal yang terjadi, pengangguran naik dari tahun 2008 yaitu 8,5% sampai tahun 2009 menjadi 9%. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan presiden yang mengklaim pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dari 6,5% di tahun 2008 dan akan meningkat lagi. Lagi-lagi konspirasi terjadi antara rezim dengan Badan Statistik ketika melontarkan angka kemiskinan. BPS menggunakan kalori sebagai tolok ukur kemiskinan sebesar 2.100/kapita/hari. Sedang Bank Dunia menggunakan kalori sebagai tolok ukur kemiskinan sebesar 2.200/orang/hari. Tidak heran ketika masih ada orang-orang miskin yang tidak mendapatkan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Ataupun BLT yang banyak salah sasaran. Terlebih lagi Masyarakat semakin tidak mandiri karena sumber dayanya kurang bisa bersaing. Pendidikan gratis hanya janji yang politis. The World Bank Eksekutif Dewan Direksi telah menyetujui dua pinjaman baru senilai US $ 415 juta untuk skala-up dari pemerintah Indonesia dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Sangat ironi program mandiri diperoleh dari dana yang tidak mandiri. Padahal kemudian PNPM-pun dipolitisir sedemikian rupa oleh salah satu Parpol untuk memperoleh suara pada Pemilu 2009 kemarin.

Dari pokok permasalahan ekonomi yang dilanda Indonesia sebenarnya sudah mampu menggoyahkan kedudukan SBY di pemerintahan. Akan tetapi konspirasi-konspirasi yang ada menyebabkan isu-isu ekonomi riel tidak muncul di permukaan. Bahkan oposisi tidak berani mengguncang panggung politik. Media-media sekarang justru mengalihkan isu pokok yang diatas menjadi isu-isu yang hanya menjadi pengabur situasi yang sekiranya laku atau menjual. Seperti terorisme yang sangat diekspose dan diberitakan perkembangannya tiap detiknya pasca kejadian bom di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Padahal jika kita telaah, justru yang dihasilkan adalah pembiayaan besar untuk kepentingan pengaman dan pengalihan isu-isu kerakyatan. Kemudian pengamanan terorisme juga dilakukan oleh militer yaitu datasemen khusus Anti Teror. Memperlihatkan bahwa oprasi Militer sekarang digunakan ke dalam untuk pengamanan nasional.

Pada akhir-akhir ini isu-isu kerakyatan, seperti harga kebutuhan yang naik menjelang lebaran, biaya pendidikan tahun ajaran 2009/2010 yang semakin mahal di kaburkan oleh isu Nasionalisme reaktif yaitu Isu ganyang Malaysia. Dimana media semakin gencar mencari apa yang telah diambil dari Indonesia dan apa yang telah dibajak. Diawali dari produk Iklan pariwisata di Malaysia hingga penjualan pulau di kawasan selat malaka. Ini adalah strategi menumbuhkan Nasionalisme melalui pembentukan opini musuh bersama. Sehingga Bangsa Indonesia dituntut untuk kembali membicarakan tentang NKRI dan melupakan segala perbedaan maupun gejolak politik pasca PEMILU. Hal ini sungguh sangat reaktif dan sudah sangat kuno. Mengapa tidak melestarikan budaya sejak dahulu? Mengapa tidak menumbuhkan Nasionalisme dari dahulu untuk menolak hutang-hutang luar negeri dan membangun kemandirian bangsa? Ini menjadi suatu hal yang lucu bila kita lihat. Padahal bisa saja isu terorisme dan klaim kebudayaan ini suatu bentuk konspirasi agar pada pemikiran masyarakat terbangun sebuah opini untuk memusuhi Malaysia dan akhirnya melenggangkan Negara untuk menggunakan lagi perangkat militer sebagai alasan keamanan. Seperti yang dilakukan Amerika Serikat yang berdalih mencari teroris kejadian 11 September 2001 dan akhirnya legal untuk menginvasi Afganistan. Keperluan militer pada akhirnya akan menguras dana APBN. Belum lagi hutang-hutang luar negeri yang harus dibayarkan. Tak ayal kita pasti akan gali lubang baru dengan jumlah hutang yang lebih besar. Sampai pada akhirnya Indonesia terus terperosok ke dalam lubang tersebut dan membusuk di dalamnya. Tetapi, hal tersebut mungkin bagi segelintir orang merupakan sesuatu yang dicita-citakan.

0 Responses

    SPONSOR

    Pengikut